BEM KBM UNIB Melakukan Diskusi Publik Bertajuk “Tambang Emas Bukit Sanggul: Petaka Ekologis Yang Mendapat Karpet Merah”

WartaBengkulu.co - Bengkulu, Pada Jumat sore, 9 Mei 2025, pukul 16.00 WIB, Universitas Bengkulu (UNIB) menggelar sebuah diskusi publik bertajuk “Tambang Emas Bukit Sanggul: Petaka Ekologis yang Mendapat Karpet Merah”. Diskusi ini menghadirkan berbagai pemantik dari kalangan aktivis lingkungan, akademisi, dan mahasiswa untuk mengkritisi rencana eksploitasi tambang emas di kawasan Bukit Sanggul, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.
Acara yang diselenggarakan di area kampus utama UNIB ini disambut antusias oleh puluhan mahasiswa lintas fakultas. Mereka datang bukan hanya untuk mendengar, tetapi juga menyampaikan keresahan kolektif atas perubahan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi yang membuka jalan bagi eksploitasi tambang.
Isu ini mencuat sejak terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 533/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023, yang secara resmi merevisi status sebagian kawasan hutan lindung di Bukit Sanggul menjadi kawasan hutan produksi. Perubahan ini menandai titik awal terbukanya celah hukum bagi aktivitas pertambangan emas.
Padahal, dalam catatan sejarah dan kajian lingkungan, kawasan hutan lindung memiliki peran vital dalam menjaga kestabilan ekosistem dan mencegah bencana ekologis. “Kita harus memandang hutan bukan hanya sebagai ruang kosong, tapi sebagai arena kontestasi para aktor yang punya kepentingan—baik ekonomi maupun politik,” ujar salah satu narasumber.
Para narasumber diskusi, sebagian besar aktivis lingkungan dan akademisi, menegaskan bahwa tidak ada satu pun bukti konkret bahwa tambang emas membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Mereka mencontohkan wilayah-wilayah seperti Minahasa, Lebong, Napal Putih, hingga Papua, di mana tambang justru memicu konflik horizontal, perusakan lingkungan, dan pengucilan warga dari ruang hidup mereka sendiri.
“Kita berkaca dari Lebong Tandai—kalau memang tambang emas bisa menyejahterakan, kenapa masyarakat di sana masih hidup dalam keterbatasan?” ujar Ali Akbar Kanopi Hijau Indonesia.
Lebih lanjut, fakta di lapangan menunjukkan bahwa lokasi pertambangan kerap diisolasi, membuat masyarakat tidak bebas mengakses wilayah tersebut, termasuk tanah adat dan kawasan yang sebelumnya mereka kelola. Beberapa orang mungkin dipekerjakan, tetapi hanya sebagai buruh kasar, bukan pada posisi strategis atau layak secara ekonomi. Situasi ini bahkan dapat memicu konflik antarwarga, terutama dalam perebutan akses dan sumber daya.
Dampak pertambangan tak hanya bersifat lokal dan jangka pendek. Salah satu peserta diskusi mengungkapkan, di daerah Lahat dan Cirebon, aktivitas pertambangan justru merusak jalan, mencemari air, dan menghilangkan sumber-sumber mata air yang selama ini menjadi penopang hidup warga.
“Dulu masyarakat Cirebon tidak pernah kekurangan air bersih. Tapi setelah ada pertambangan semen, mereka mulai kesulitan air. Itu bukti nyata bahwa keberadaan tambang membawa kerusakan yang sistematis,” ujar salah satu peserta diskusi.
Selain itu, realitas di lapangan juga menunjukkan bahwa pekerjaan yang dijanjikan oleh perusahaan tambang tidak layak dan tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Banyak pekerja berasal dari luar daerah, bukan masyarakat lokal, sehingga klaim “penyerapan tenaga kerja lokal” menjadi patut dipertanyakan, ungkap Ali Akbar
Tak hanya dari aspek lingkungan, diskusi juga membedah persoalan politik di balik revisi kawasan dan pembukaan tambang. Perubahan status hutan dari lindung menjadi produksi jelas menunjukkan campur tangan politik tingkat provinsi yang mengusulkan perubahan izin kawasan kepada pemerintah pusat, ungkap Hefri Oktoyoki, S.Hut., M.Si.
“Dokumen Amdal tambang emas Bukit Sanggul sampai sekarang tidak bisa diakses publik. Ini menyalahi prinsip transparansi dan partisipasi,” Ujar Hefri Oktoyoki, S.Hut., M.Si. Menurutnya, ketertutupan ini menandakan bahwa proyek ini digerakkan oleh kekuatan korporasi dan elite yang mengabaikan kepentingan masyarakat lokal.
Dalam diskusi ini, Yoandha Audritama, salah satu pembicara yang dikenal sebagai aktivis mahasiswa, memberikan penekanan kuat pada pentingnya peran mahasiswa dalam mengadvokasi kasus ini. Ia menyampaikan bahwa mahasiswa bukan hanya penonton atau pelengkap dalam gerakan sosial, tetapi harus menjadi agen pencerdasan bagi masyarakat.
“Mahasiswa itu punya ilmu dan kesadaran akan bahaya ekologis. Harusnya jadi garda terdepan untuk menyuarakan dan mengawal isu ini,” ujar Yoandha Audritama.
Ia menambahkan bahwa perlawanan terhadap proyek merusak seperti ini membutuhkan konsistensi dan waktu panjang, seperti kasus PLTU Teluk Sepang yang sampai sekarang masih berlanjut konfliknya. “Butuh belasan tahun untuk melawan PLTU di Teluk Sepang, dan belum selesai sampai sekarang. Begitu juga dengan tambang emas ini, harapannya mahasiswa tidak hanya turun ke jalan, tapi juga menyusun strategi jangka panjang untuk mengawal,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan seruan agar mahasiswa dan masyarakat sipil membangun gerakan berkelanjutan, tidak sekadar demonstrasi sesaat. Gerakan harus diarahkan pada advokasi berbasis data, pendampingan masyarakat, dan upaya hukum jika diperlukan.
“Tidak semua masyarakat paham dampak ekologis dan sosial dari tambang. Di sinilah peran kita, mencerdaskan dan menguatkan masyarakat melalui berbagai metode,” tutup salah satu mahasiswa yang turut hadir.