Penyambutan Wakil Presiden (RI 2) di Bengkulu Berujung Represi: Aparat Benturkan Diri dengan Massa Aksi

Wartabengkulu.co – Bengkulu, Sejumlah mahasiswa dari berbagai organisasi, yakni KAMMI, GMNI, IMM, HMI, BEM KBM UNIB, BEM Bhakti Husada, dan BEM Poltekkes, menggelar aksi unjuk rasa sebagai bentuk perlawanan moral terhadap krisis multidimensional yang kian melanda Provinsi Bengkulu. Aksi dilakukan di depan Hotel Mercure untuk menyambut kedatangan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI 2), dengan tujuan menyampaikan langsung aspirasi dan tuntutan yang bersifat mendesak.
Massa aksi yang berjumlah puluhan orang tersebut menyoroti dengan keras berbagai persoalan serius yang belum diselesaikan oleh pemerintah, antara lain kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang sangat parah hingga harga per liternya melonjak tak masuk akal mencapai Rp80.000, lonjakan opsen pajak yang eksesif hingga lebih dari dua kali lipat, serta eksploitasi lingkungan melalui pembukaan tambang emas yang tidak terkendali dan tidak berpihak pada keberlanjutan ekologis. Persoalan-persoalan tersebut mencerminkan kegagalan struktural dalam tata kelola pemerintahan daerah maupun pusat.
Aksi ini merupakan ekspresi kekecewaan kolektif mahasiswa atas janji-janji politik Gubernur Bengkulu yang terbukti nihil pelaksanaan, khususnya terkait komitmen penyelesaian persoalan dalam 100 hari pertama masa jabatan. Realitas menunjukkan bahwa janji-janji tersebut tak lebih dari retorika politik semata. Ketidakhadiran Gubernur dalam setiap forum dialog publik, serta keengganannya merespons aksi-aksi mahasiswa, memperkuat kesimpulan bahwa kepemimpinannya telah gagal bahkan sebelum benar-benar dimulai.
Massa aksi membentangkan spanduk bertuliskan “Bengkulu Darurat BBM, Negara Harus Tanggung Jawab. Rakyat Sulit, Gubernur Gimick”. Ironisnya, spanduk tersebut langsung dirampas secara represif oleh aparat kepolisian, mencerminkan watak otoriter yang menindas kebebasan berekspresi di ruang publik.
Aksi dimulai pukul 20.00 WIB dengan konsentrasi massa di depan Hotel Mercure. Aparat kepolisian membatasi ruang gerak massa, memaksa mereka melakukan orasi di perbatasan jalan. Namun, pembatasan tersebut berkembang menjadi tindakan represif saat aparat mendorong mundur massa hingga terdesak ke warung warga. Eskalasi meningkat dan menyebabkan kericuhan. Tak hanya terjadi intimidasi fisik, aksi tersebut juga berujung pada kekerasan verbal dan seksual, di mana salah satu peserta aksi perempuan menjadi korban pelecehan. Selain itu, enam peserta aksi ditangkap secara paksa, dan logistik aksi dirampas, yang menunjukkan adanya pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh aparat negara.
Sekitar pukul 21.50 WIB, rombongan Wakil Presiden dihentikan secara paksa oleh massa aksi. RI 2 akhirnya turun dari kendaraan dan menyetujui dialog terbatas dengan empat perwakilan mahasiswa. Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Ketua DPD RI, massa aksi menegaskan bahwa sikap Gubernur Bengkulu yang secara konsisten menghindari dialog publik adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas dan keterbukaan pemerintahan demokratis.
Hasil dari dialog menyepakati bahwa Wakil Presiden akan menugaskan dua deputi khusus untuk mengawal penyelesaian permasalahan di Bengkulu, serta membuka ruang dialog terbuka bersama Gubernur Bengkulu yang akan difasilitasi oleh DPD RI. Meskipun aksi berakhir dalam kondisi tertib dan damai, massa aksi menyatakan dengan tegas bahwa ini bukanlah akhir perjuangan. Justru, mereka menegaskan akan ada gerakan dengan skala dan intensitas yang lebih besar sebagai respons terhadap akumulasi kekecewaan dan kemarahan publik atas kegagalan sistematis negara dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat, khususnya di Provinsi Bengkulu