Rampas Tanah Leluhur, PTPN VII Unit Talo-Pino di Bengkulu Dihukum Adat

WartaBengkulu.co - Bengkulu, Belasan warga dari komunitas adat Serawai Semidang Sakti yang tinggal di Desa Pering Baru, Kabupaten Seluma, menggelar ritual adat sebagai bentuk protes terhadap PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII. Ritual tersebut digelar di depan kantor perwakilan PTPN VII di Kota Bengkulu, Senin (17/3/2025), sebagai simbol hukuman adat kepada pihak yang dianggap merampas hak masyarakat adat, khususnya tanah leluhur mereka.
Tahardin, salah satu perwakilan masyarakat adat, menjelaskan bahwa ritual tersebut merupakan tradisi leluhur mereka yang telah berlangsung turun-temurun. Dalam tradisi Serawai, hukuman adat diberikan kepada pihak yang dianggap telah melakukan kejahatan berupa pencurian atau perampasan hak orang lain. Dalam hal ini, menurut Tahardin, PTPN VII telah merampas tanah mereka selama lebih dari 30 tahun.
“PTPN VII telah merampas tanah kami. Sebagai simbol, kami buatkan kalung dari tanaman yang kami tanam sejak zaman nenek moyang kami, namun sekarang telah dirampas oleh perusahaan ini,” ungkap Tahardin.
Pia Tulaini, tokoh perempuan Serawai yang turut hadir dalam ritual tersebut, mengungkapkan penderitaan masyarakat adat akibat perampasan tanah oleh PTPN VII. Menurut Pia, banyak perempuan di Desa Pering Baru kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan obat-obatan, yang dulunya bisa diperoleh dari alam sekitar yang kini telah berubah menjadi lahan perkebunan sawit.
“Dulu kami bisa mencari obat-obatan di hutan, tetapi sekarang semuanya telah habis dan digantikan dengan sawit,” ujar Pia, yang juga seorang dukun melahirkan.
Nahadin, tokoh masyarakat adat Serawai, menegaskan bahwa tanah yang kini diklaim sebagai wilayah Hak Guna Usaha (HGU) oleh PTPN VII adalah tanah leluhur mereka yang telah dihuni sejak tahun 1800-an. Wilayah ini, yang meliputi daerah Sungai Landangan dan sekitar Desa Pering Baru, sebelumnya merupakan tempat berladang bagi nenek moyang mereka.
“Mereka mengatakan itu milik perusahaan, tapi kami memiliki bukti sejarah. Tanah itu adalah tanah leluhur kami,” kata Nahadin.
Selain ritual adat, masyarakat adat Serawai juga mengajukan permintaan agar penegak hukum membebaskan dua warga, Anton dan Kayun, yang dituduh mencuri sawit milik PTPN VII. Anton, seorang pelajar SMKN 3 Seluma, dan Kayun, kakaknya, dituduh mencuri sawit dari tanah yang mereka klaim sebagai milik leluhur mereka.
Zemi Sipantri, Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Serawai, menilai tuduhan terhadap Anton dan Kayun sebagai bentuk kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat yang berusaha mempertahankan tanah mereka.
“Pohon sawit itu tumbuh di tanah kami sendiri, jadi apa yang mereka curi? Ini adalah bentuk kejahatan terhadap kami. Kami mendesak agar anak-anak kami tidak dijadikan korban,” tegas Zemi.
Zemi juga mengungkapkan bahwa sejak 1987, ribuan hektar tanah di Seluma telah diserahkan kepada perusahaan tanpa persetujuan masyarakat adat yang telah mendiami tanah tersebut selama berabad-abad.
Fahmi Arisandi, Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu, menilai bahwa konflik terkait hak atas tanah adat ini telah menjadi masalah yang berlarut-larut. Menurut Fahmi, tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini. Situasi seperti ini, menurutnya, dapat memicu konflik yang lebih besar di daerah-daerah lain di Indonesia.
“Seluma memiliki Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, seharusnya ini bisa menjadi instrumen penyelesaian. Tapi perusahaan dan pemerintah harus menghormati hak-hak masyarakat adat. Jika tidak, konflik ini akan terus berlanjut,” kata Fahmi.
Fahmi juga menegaskan bahwa hukuman adat yang dilakukan masyarakat Serawai adalah bentuk dari sistem hukum mereka, yang berbeda dengan sistem hukum negara yang lebih mengutamakan penjara sebagai hukuman. "Jika sampai ada yang dihukum dengan penjara, ini menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap hak-hak masyarakat adat," tambahnya.